Gathering Peminat Perumahan Syariah Amirah City Serang segelara digelar, Anda Bisa Memiliki Rumah Idaman Perumahan Syariah di KOTA SERANG
Jangan lewatkan EXCLUSIVE GATHERING 09 September 2017.
Saat Gathering Harga lebih murah 🙂 ~ Hunian strategis dengan lingkungan islami yang memiliki konsep Tanpa Riba, Tanpa Sita, Tanpa Denda, Tanpa Bunga, Tanpa BI Checking, Tanpa Akad Bathil. 100% Syariah. daftar disini: daftar disini: daftar disini:
Alhamdulillah , puji syukur kehadirat Allah Subhanahu wa ta’alaa.. akhirnya yang ditunggu tunggu pecinta Kampung Buah Cikalong, memenuhi target Plan launcing Kampung Buah Cikalong, Gathering peminat Kampung Buah Cikalong yang perdana digelar. Gathering peminat Kampung Buah Cikalong yang perdana digelar pada tanggal 19 agustus 2017. Bertempat di area lokasi project kampung buah Cikalong yakni di Desa Mekarsari – Kecamatan Cikalong Kulon Kabupaten Cianjur Jawa Barat.
Bertema “Dari Sekedar Lokasi menjadi Destinasi” Seminar Propoerty Syariah di Lokasi Kampung Buah Cikalong Digelar untuk pertama kalinya. Acara tersebut mendapat perhatian dari calon pembeli sekitar 136 calon. Kampung buah Cikalong sendiri menawarkan Kavling Produktive dengan Plan awal Buah Klengkeng sebagai Clluster pertamanya. Acara gathering dengan Tiket hanya 150 Ribu tersebut bertujuan memberikan edukasi kepada calon pembeli tetang Propoerty, Inverstasi Syariah dan Berkah, tentang Fiqih muamalat dalan Jual beli juga tentang Project Plan Kampung Buah Cikalong. Selain mendapatkan berbagai materi menarik tentang Property dan investasi syariah pengujung Gathering juga mendapatkan Harga Khusus (discount) dari Kavling yang tersedia. Di kampung buah Cikalong sendiri menyediakan/ menawarkan ukuran Kavling dari 300M2, 500M2 juga sampai 1000M2. Ratusan Unit sudah terpesan, bagi sahabat semua yang belum kebagian jangan khawatir, kita tunggu saja Gathering berikutnya atau bisa check dengan team Marketing kita sisa available di Cluster Klengkeng yang pertama. Silahkan Click di link berikut: https://alfatihproperty.com/kampung-buah-cikalong/
Asslaamu alaikum, teman teman semua Ikhwan akhwat , naah ini saatnya kita belajar lagi tentang Ilmu muamalat yang sebagian orang menyepelekan / menganggap remeh yang satu ini. Yakni tentang praktek riba yang sebagian besar orang sudah menganggap hanya praktek biasa saja. Padahal riba termasuk salah satu dosa besar lhoo..
Dari Jabir RA berkata, bahwa Rasulullah SAW melaknat orang yang memakan riba, orang yang memberikannya, penulisnya dan dua saksinya, dan beliau berkata, mereka semua adalah sama. (HR. Muslim)
Dari Jabir RA berkata, bahwa Rasulullah SAW melaknat orang yang memakan riba, orang yang memberikannya, penulisnya dan dua saksinya, dan beliau berkata, mereka semua adalah sama. (HR. Muslim)
Sekilas Tentang Hadits
Hadits ini merupakan hadits yang disepakati keshahihannya oleh para ulama hadits. Diriwayatkan oleh banyak Imam hadits, di antaranya :
Imam Muslim dalam Shahihnya, Kitab Al-Musaqat, Bab La’ni Aakilir Riba Wa Mu’kilihi, hadits no 2995.
Imam Ahmad bin Hambal RA, dalam Musnadnya, dalam Baqi Musnad Al-Muktsirin, hadits no 13744.
Selain itu, hadits ini juga memiliki syahid (hadits yang sama yang diriwayatkan melalui jalur sahabat yang berbeda), di antaranya dari jalur sahabat Abdullah bin Mas’ud dan juga dari Ali bin Abi Thalib, yang diriwayatkan oleh :
Imam Turmudzi dalam Jami’nya, Kitab Buyu’ An Rasulillah, Bab Ma Ja’a Fi Aklir Riba, hadits no 1127.
Imam Nasa’i dalam Sunannya, Kitab At-Thalaq, Bab Ihlal Al-Muthallaqah Tsalasan Wan Nikahilladzi Yuhilluha Bihi, Hadits no. 3363.
Imam Abu Daud dalam Sunannya, Kitab Al-Buyu’, Bab Fi Aklir Riba Wa Mu’kilihi, hadits no. 2895.
Imam Ahmad bin Hambal dalam Musnadnya di banyak tempat, di antaranya pada hadits-hadits no 3539, 3550, 3618, 4058, 4059, 4099, 4171 dsb.
Imam Ad-Darimi dalam Sunannya, Kitab Al-Buyu’, Bab Fi Aklir Riba Wa Mu’kilihi, hadits no 2423.
Makna Hadits Secara Umum
Hadits yang sangat singkat di atas, menggambarkan mengenai bahaya dan buruknya riba bagi kehidupan kaum muslimin. Begitu buruk dan bahayanya riba, sehingga digambarkan bahwa Rasulullah SAW melaknat seluruh pelaku riba. Pemakannya, pemberinya, pencatatnya maupun saksi-saksinya. Dan kesemua golongan yang terkait dengan riba tersebut dikatakan oleh Rasulullah SAW; “Mereka semua adalah sama.”
Pelaknatan Rasulullah SAW terhadap para pelaku riba menggambarkan betapa munkarnya amaliyah ribawiyah, mengingat Rasulullah SAW tidak pernah melaknat suatu keburukan, melainkan keburukan tersebut membawa kemudharatan yang luar biasa, baik dalam skala individu bagi para pelakunya, maupun dalam skala mujtama’ (baca ; masyarakat) secara luas.
Oleh karenanya, setiap muslim wajib menghindarkan dirinya dari praktek riba dalam segenap aspek kehidupannya. Dan bukankah salah satu sifat (baca ; muwashafat) yang harus dimiliki oleh setiap aktivis dakwah adalah “memerangi riba”? Namun realitasnya, justru tidak sedikit yang justru menyandarkan kasabnya dari amaliyah ribawiyah ini.
Makna Riba
Dari segi bahasa, riba berarti tambahan atau kelebihan. Sedangkan dari segi istilah para ulama beragam dalam mendefinisikan riba.
Definisi yang sederhana dari riba adalah ; pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal, secara bathil. (baca ; bertentangan dengan nilai-nilai syariah).
Definisi lainnya dari riba adalah ; segala tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya padanan yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut.
Intinya adalah, bahwa riba merupakan segala bentuk tambahan atau kelebihan yang diperoleh atau didapatkan melalui transaksi yang tidak dibenarkan secara syariah. Bisa melalui “bunga” dalam utang piutang, tukar menukar barang sejenis dengan kuantitas yang tidak sama, dan sebagainya. Dan riba dapat terjadi dalam semua jenis transaksi maliyah.
Pada masa jahiliyah, riba terjadi dalam pinjam meminjam uang. Karena masyarakat Mekah merupakan masyarakat pedagang, yang dalam musim-musim tertentu mereka memerlukan modal untuk dagangan mereka. Para ulama mengatakan, bahwa jarang sekali terjadi pinjam meminjam uang pada masa tersebut yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumtif.
Pinjam meminjam uang terjadi untuk produktivitas perdagangan mereka. Namun uniknya, transaksi pinjam meminjam tersebut baru dikenakan bunga, bila seseorang tidak bisa melunasi utangnya pada waktu yang telah ditentukan. Sedangkan bila ia dapat melunasinya pada waktu yang telah ditentukan, maka ia sama sekali tidak dikenakan bunga. Dan terhadap transaksi yang seperti ini, Rasulullah SAW menyebutnya dengan riba jahiliyah.
Riba Merupakan Dosa Besar
Semua ulama sepakat, bahwa riba merupakan dosa besar yang wajib dihindari dari muamalah setiap muslim. Bahkan Sheikh Yusuf Al-Qaradhawi dalam bukunya Bunga Bank Haram mengatakan, bahwa tidak pernah Allah SWT mengharamkan sesuatu sedahsyat Allah SWT mengharamkan riba. Seorang muslim yang hanif akan merasakan jantungnya seolah akan copot manakala membaca taujih rabbani mengenai pengharaman riba (dalam QS. 2 : 275 – 281). Hal ini karena begitu buruknya amaliyah riba dan dampaknya bagi kehidupan masyarakat.
Dan cukuplah menggambarkan bahaya dan buruknya riba, firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah 275 :
Orang-orang yang memakan (mengambil) riba, tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran tekanan penyakit gila. Hal itu karena mereka mengatakan, bahwasanya jual beli itu adalah seperti riba. Dan Allah menghalalkan jual beli serta mengharamkan riba. Maka barangsiapa yang telah datang padanya peringatan dari Allah SWT kemudian ia berhenti dari memakan riba, maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu dan urusannya terserah kepada Allah. Namun barang siapa yang kembali memakan riba, maka bagi mereka adalah azab neraka dan mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.
Dari Abu Hurairah RA, dari Rasulullah SAW berkata, ‘Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan !’ Para sahabat bertanya, ‘Apa saja tujuh perkara tersebut wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah SWT kecuali dengan jalan yang benar, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan peperangan dan menuduh berzina pada wanita-wanita mukmin yang sopan yang lalai dari perbuatan jahat. (Muttafaqun Alaih).
Periodisasi Pengharaman Riba
Sebagaimana khamar, riba tidak Allah haramkan sekaligus, melainkan melalui tahapisasi yang hampir sama dengan tahapisasi pengharaman khamar:
Tahap pertama dengan mematahkan paradigma manusia bahwa riba akan melipatgandakan harta. Pada tahap pertama ini, Allah SWT hanya memberitahukan pada mereka, bahwa cara yang mereka gunakan untuk mengembangkan uang melalui riba sesungguhnya sama sekali tidak akan berlipat di mata Allah SWT. Bahkan dengan cara seperti itu, secara makro berakibat pada tidak tawazunnya sistem perekonomian yang berakibat pada penurunan nilai mata uang melalui inflasi. Dan hal ini justru akan merugikan mereka sendiri.
Pematahan paradigma mereka ini Allah gambarkan dalam QS. 30 : 39 ; “Dan sesuatu tambahan (riba) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya)”.
Tahap kedua : Memberitahukan bahwa riba diharamkan bagi umat terdahulu. Setelah mematahkan paradigma tentang melipat gandakan uang sebagaimana di atas, Allah SWT lalu menginformasikan bahwa karena buruknya sistem ribawi ini, maka umat-umat terdahulu juga telah dilarang bagi mereka. Bahkan karena mereka tetap bersikeras memakan riba, maka Allah kategorikan mereka sebagai orang-orang kafir dan Allah janjikan kepada mereka azab yang pedih.
Hal ini sebagaimana yang Allah SWT firmankan dalam QS 4 : 160 – 161 : “Maka disebabkan kezhaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi manusia dari jalan Allah. Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang dari padanya, dan karena mereka harta dengan cara yang bathil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih”.
Tahap ketiga : Gambaran bahwa riba secara sifatnya akan menjadi berlipat ganda. Lalu pada tahapan yang ketiga, Allah SWT menerangkan bahwa riba secara sifat dan karakternya akan menjadi berlipat dan akan semakin besar, yang tentunya akan menyusahkan orang yang terlibat di dalamnya. Namun yang perlu digarisbawahi bahwa ayat ini sama sekali tidak menggambarkan bahwa riba yang dilarang adalah yang berlipat ganda, sedangkan yang tidak berlipat ganda tidak dilarang.
Pemahaman seperti ini adalah pemahaman yang keliru dan sama sekali tidak dimaksudkan dalam ayat ini. Allah SWT berfirman (QS. 3:130), “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”
Tahap keempat : Pengharaman segala macam dan bentuk riba. Ini merupakan tahapan terakhir dari seluruh rangkaian periodisasi pengharaman riba. Dalam tahap ini, seluruh rangkaian aktivitas dan muamalah yang berkaitan dengan riba, baik langsung maupun tidak langsung, berlipat ganda maupun tidak berlipat ganda, besar maupun kecil, semuanya adalah terlarang dan termasuk dosa besar.
Allah SWT berfirman dalam QS. 2 : 278 – 279 ; “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan seluruh sisa dari riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.”
Buruknya Muamalah Ribawiyah
Terlalu banyak sesungguhnya dalil baik dari Al-Qur’an maupun sunnah, yang menggambarkan tentang buruknya riba, berikut adalah ringkasan dari beberapa dalil mengenai riba :
Orang yang memakan riba, diibaratkan seperti orang yang tidak bisa berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan, lantaran (penyakit gila). (QS. 2 : 275).
Pemakan riba, akan kekal berada di dalam neraka. (QS. 2 : 275).
Orang yang “kekeh” dalam bermuamalah dengan riba, akan diperangi oleh Allah dan rasul-Nya. (QS. 2 : 278 – 279).
Seluruh pemain riba; kreditur, debitur, pencatat, saksi, notaris dan semua yang terlibat, akan mendapatkan laknat dari Allah dan rasul-Nya. Dalam sebuah hadits diriwayatkan : “Dari Jabir RA bahwa Rasulullah SAW melaknat pemakan riba, yang memberikannya, pencatatnya dan saksi-saksinya.” Kemudian beliau berkata, “ Mereka semua sama!”. (HR. Muslim)
Suatu kaum yang dengan jelas “menampakkan” (baca ; menggunakan) sistem ribawi, akan mendapatkan azab dari Allah SWT. Dalam sebuah hadits diriwayatkan : “Dari Abdullah bin Mas’ud RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah suatu kaum menampakkan (melakukan dan menggunakan dengan terang-terangan) riba dan zina, melainkan mereka menghalalkan bagi diri mereka sendiri azab dari Allah.” (HR. Ibnu Majah)
Dosa memakan riba (dan ia tahu bahwa riba itu dosa) adalah lebih berat daripada tiga puluh enam kali perzinaan. Dalam sebuah hadits diriwayatkan : “Dari Abdullah bin Handzalah RA berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Satu dirham riba yang dimakan oleh seseorang dan ia mengetahuinya, maka hal itu lebih berat dari pada tiga puluh enam kali perzinaan.” (HR. Ahmad, Daruqutni dan Thabrani).
Bahwa tingkatan riba yang paling kecil adalah seperti seorang lelaki yang berzina dengan ibu kandungnya sendiri. Dalam sebuah hadits diriwayatkan : “Dari Abdullah bin Mas’ud RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Riba itu tujuh puluh tiga pintu, dan pintu yang paling ringan dari riba adalah seperti seorang lelaki yang berzina dengan ibu kandungnya sendiri.” (HR. Hakim, Ibnu Majah dan Baihaqi).
Dengan dalil-dalil sebagaimana di atas, masihkah ada seorang muslim yang “kekeh” bermuamalah ribawiyah dalam kehidupannya?
Praktik Riba Dalam Kehidupan
Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa riba adalah segala tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya padanan yang dibenarkan syariah. Praktek seperti ini dapat terjadi di hampir seluruh muamalah maliyah kontemporer, di antaranya adalah pada :
Transaksi Perbankan
Sebagaimana diketahui bersama, bahwa basis yang digunakan dalam praktek perbankan (konvensional) adalah menggunakan basis bunga (interest based). Di mana salah satu pihak (nasabah), bertindak sebagai peminjam dan pihak yang lainnya (bank) bertindak sebagai pemberi pinjaman. Atas dasar pinjaman tersebut, nasabah dikenakan bunga sebagai kompensasi dari pertangguhan waktu pembayaran utang tersebut, dengan tidak mempedulikan, apakah usaha nasabah mengalami keuntungan ataupun tidak.
Praktek seperti ini sebenarnya sangat mirip dengan praktek riba jahiliyah pada masa jahiliyah. Hanya bedanya, pada riba jahiliyah bunga baru akan dikenakan ketika si peminjam tidak bisa melunasi utang pada waktu yang telah ditentukan, sebagai kompensasi penambahan waktu pembayaran. Sedangkan pada praktek perbankan, bunga telah ditetapkan sejak pertama kali kesepakatan dibuat, atau sejak si peminjam menerima dana yang dipinjamnya. Oleh karena itulah tidak heran, jika banyak ulama yang mengatakan bahwa praktek riba yang terjadi pada sektor perbankan saat ini, lebih jahiliyah dibandingkan dengan riba jahiliyah.
Selain terjadi pada aspek pembiayaan sebagaimana di atas, riba juga terjadi pada aspek tabungan. Di mana nasabah mendapatkan bunga yang pasti dari bank, sebagai kompensasi uang yang disimpannya dalam bank, baik bank mengalami keuntungan maupun kerugian. Berbeda dengan sistem syariah, di mana bank syariah tidak menjanjikan return tetap, melainkan hanya nisbah (yaitu prosentasi yang akan dibagikan dari keuntungan yang didapatkan oleh bank). Sehingga return yang didapatkan nasabah bisa naik turun, sesuai dengan naik turunnya keuntungan bank. Istilah seperti inilah yang kemudian berkembang namanya menjadi sistem bagi hasil.
Transaksi Asuransi
Dalam sektor asuransi pun juga tidak luput dari bahaya riba. Karena dalam asuransi (konvensional) terjadi tukar menukar uang dengan jumlah yang tidak sama dan dalam waktu yang juga tidak sama. Sebagai contoh, seseorang yang mengasuransikan kendaraannya dengan premi satu juta rupiah per tahun. Pada tahun ketiga, ia kehilangan mobilnya seharga 100 juta rupiah. Dan oleh karenanya pihak asuransi memberikan ganti rugi sebesar harga mobilnya yang telah hilang, yaitu 100 juta rupiah. Padahal jika diakumulasikan, ia baru membayar premi sebesar 3 juta rupiah. Jadi dari mana 97 juta rupiah yang telah diterimanya? Jumlah 97 juta rupiah yang ia terima masuk dalam kategori riba fadhl (yaitu tukar menukar barang sejenis dengan kuantitas yang tidak sama).
Pada saat bersamaan, praktek asuransi juga masuk pada kategori riba nasi’ah (kelebihan yang dikenakan atas pertangguhan waktu), karena uang klaim yang didapatkan tidak yadan biyadin dengan premi yang dibayarkan. Antara keduanya ada tenggang waktu, dan oleh karenanya terjadilah riba nasi’ah. Hampir semua ulama sepakat, mengenai haramnya asuransi (konvensional) ini. Di antara yang mengharamkannya adalah Sayyid Sabiq dan juga Sheikh Yusuf Al-Qaradhawi. Oleh karenanya, dibuatlah solusi berasuransi yang selaras dengan syariah Islam. Karena sistem asuransi merupakan dharurah ijtima’iyah (kebutuhan sosial), yang sangat urgen.
Transaksi Jual Beli Secara Kredit.
Jual beli kredit yang tidak diperbolehkan adalah yang mengacu pada “bunga” yang disertakan dalam jual beli tersebut. Apalagi jika bunga tersebut berfluktuatif, naik dan turun sesuai dengan kondisi ekonomi dan kebijakan pemerintah. Sehingga harga jual dan harga belinya menjadi tidak jelas (gharar fitsaman). Sementara sebenarnya dalam syariah Islam, dalam jual beli harus ada “kepastian” harga, antara penjual dan pembeli, serta tidak boleh adanya perubahan yang tidak pasti, baik pada harga maupun pada barang yang diperjualbelikan. Selain itu, jika terjadi “kemacetan” pembayaran di tengah jalan, barang tersebut akan diambil kembali oleh penjual atau oleh dealer dalam jual beli kendaraan. Pembayaran yang telah dilakukan dianggap sebagai “sewa” terhadap barang tersebut.
Belum lagi komposisi pembayaran cicilah yang dibayarkan, sering kali di sana tidak jelas, berapa harga pokoknya dan berapa juga bunganya. Seringkali pembayaran cicilan pada tahun-tahun awal, bunga lebih besar dibandingkan dengan pokok utang yang harus dibayarkan. Akhirnya pembeli kerap merasa dirugikan di tengah jalan. Hal ini tentunya berbeda dengan sistem jual beli kredit secara syariah. Di mana komposisi cicilan adalah flat antara pokok dan marginnya, harga tidak mengalami perubahan sebagaimana perubahan bunga, dan kepemilikan barang yang jelas, jika terjadi kemacetan. Dan sistem seperti ini, akan menguntungkan baik untuk penjual maupun pembeli.
Masih banyak sesungguhnya transaksi-transaksi yang mengandung unsur ribawi di tengah-tengah kehidupan kita. Intinya adalah kita harus waspada dan menghindarkan diri sejauh-jauhnya dari muamalah seperti ini. Cukuplah nasihat rabbani dari Allah SWT kepada kita “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. Annisa’ : 29)
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintah untuk menyiapkan pasukan lantas unta berjalan di tengah-tengah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengambil unta yang masih muda dan masih kuat yang sebagai zakat. Beliau ketika itu menjadikan_ _satu unta menjadi dua unta sebagai kompensasi tempo waktu yang ditunggu untuk unta zakat._ (HR. Abu Daud no. 3357 dan Ahmad 2: 171. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini adalah hasan)
Apakah boleh ada beda harga antara tunai dan kredit? Misalnya kalau cash rumah seharga 150 juta rupiah, sedangkan kredit ditotal menjadi 300 juta rupiah.
Ada sebagian kaum muslim yang memahami bahwa harga jual beli kredit haruslah sama harganya dengan harga jual beli tunai.
Mereka berpendapat jika harganya tidak sama, maka itu terjatuh pada riba.
Lantas bagaimana sebenarnya hukum jual beli kredit yang harga kredit berbeda dengan harga tunai?
Marilah kita membahasnya secara singkat
Pertama
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah jelas tidak mempermasalahkan harga kredit yang lebih tinggi dari harga cash
Kedua
Larangan dalil mengenai dua harga dalam satu transaksi itu memang ada dan benar. Tetapi cermati hal dibawah ini, kemungkinan ada penyerapan makna yang berbeda:
Apakah penawaran dua harga itu yaitu harga cash dan harga kredit sudah disebut transaksi?
A. Penawaran dua harga bukanlah disebut transaksi, karena belum terjadi akad. Baru sebagai penawaran pilihan harga.
Apakah transaksi terjadi sebelum belum akad?
B. Transaksi terjadi ketika sudah terjadi akad, sehingga harga cash dan kredit yang berbeda belum adanya transaksi serta tidak terjadi akad
PENDAPAT YANG MEMBOLEHKAN
Mayoritas Ulama Fiqh menyatakan bolehnya menjual barang dengan harga lebih tinggi daripada biasanya dengan alasan kredit atau dengan alasan penundaan pembayaran.
Diriwayatkan dari Thawus, Hakam dan Hammad, mereka mengatakan hukumnya boleh seseorang mengatakan, “Saya menjual kepada kamu segini dengan kontan, dan segini dengan kredit”, lalu pembeli memilih salah satu diantaranya. Ali bin Abi Thalib ra. berkata, “Barangsiapa memberikan tawaran dua sistem pembayaran, yakni kontan dan tertunda, maka tentukanlah salah satunya sebelum transaksi.”
“Seseorang boleh menjual barangnya dengan mengatakan, ‘Barang ini harga tunainya sekian dan tidak tunainya sekian’, akan tetapi tidak boleh Penjual dan Pembeli berpisah melainkan mereka telah saling ridha atas salah satu harga.” (Mushannaf Ibnu Abi Syaibah)
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani berkata :
Diperbolehkan bagi penjual untuk menjual barangnya dengan dua pembayaran yang berbeda, yaitu kontan atau kredit. Jika seseorang berkata pada temannya, “Saya menjual barang ini 50 secara kontan, 60 secara kredit.”
Lalu temannya itu berkata, “Saya beli secara kredit 60.” Atau dia berkata, “Saya beli dengan kontan 50.”, maka sahlah jual beli itu. Begitu pula jika dia berkata, “Saya jual barang ini 60 secara kredit, selisih 10 dari harga aslinya jika secara kontan, karena pembayarannya di belakang”, dan pembeli mengatakan setuju, maka sahlah jual beli itu. (Syakhsiyah Islamiyah juz II)
Syaikh Abdul Azis bin Baz berkata :
“Jual beli kredit hukumnya boleh, dengan syarat bahwa lamanya masa angsuran serta jumlah angsuran diketahui dengan jelas saat aqad, sekalipun jual-beli kredit biasanya lebih mahal daripada jual-beli tunai.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz)
Kesimpulan :
Diperboleh saja seseorang menawarkan barang dengan dua harga atau bahkan banyak harga, tetapi dealnya (akad jual belinya) wajib disepakati hanya satu harga saja.
Intinya ada ketika akad yang jelas, dimana harga yang dicantumkan itu adalah total yang dibayarkan atau kewajiban bagi pembeli. (denda, penalty tidak diperbolehkan)
Perbedaan KPR Syariah, KPR Bank Syariah dan KPR Konvensional
Perbedaan KPR Syariah, KPR Bank Syariah dan KPR Konvensional
Kami berusaha membantu anda, memiliki hunian, property , investasi penuh keberkahan . Tentunnya adalah investasi yang diperoleh dengan cara Halal baik aqod nya maupun Sistem nya yang termnimalisasi dari system Ruba. Nah untuk itu kami mengajak kita semua untuk membaca artikel berikut , bagaimana kita bisa lebih berhati hati dalam masalah Jual beli dan Juga pinjam meminjam.
Masih banyak yang masih bingung terhadap pola KPR yang berlaku di masyarakat saat ini. Karena setidaknya, kini ada 3 (tiga) jenis KPR yang bisa menjadi pilihan masyarakat luas.
Ya, semenjak era KPR Syariah (KPR dengan konsep syariah dan cicilan langsung ke developer) mulai marak beberapa tahun ke belakang, masyarakat kini memiliki pilihan lebih banyak untuk memiliki hunian.
Pola KPR Syariah bisa populer dan cepat berkembang karena menawarkan kemudahan dan berbagai keuntungan dibandingkan 2 pilihan yang sebelumnya ada di Indonesia. Yaitu KPR Bank Syariah dan KPR Konvensional.
Namun, seperti yang disinggung pada awal tulisan ini, bahwa masyarakat masih banyak yang bingung perbedaan antara KPR Syariah, KPR Bank Syariah, dan KPR Konvensional. Terutama membedakan antara KPR Syariah dan KPR Bank Syariah.
Nah, tulisan ini insyaAllah akan mengupas secara garis besar perbedaan antara ketiga skema pembayaran KPR tersebut. Tulisan ini dibuat oleh Ust. Farhan Alwayni. Menurut beliau, setidaknya ada 7 hal yang menjadi dasar perbedaan tersebut.
Perbedaan KPR Syariah, KPR Bank Syariah dan KPR Konvensional
Pihak Yang Bertransaksi
KPR Syariah: 2 Pihak yaitu antara pembeli dan developer
KPR Bank Syariah: 3 Pihak yaitu antara pembeli, developer dan bank
KPR Bank Konvensional: 3 Pihak yaitu antara pembeli, developer dan bank
Maka harus kita cermati apakah KPR bank baik syariah atau konvensional terjadi transaksi jual beli atau hanya pendanaan dari bank. Jika memang jual beli maka halal dan jika hanya pendanaan bank maka haram.
Barang Yang Dijaminkan
KPR Syariah: Rumah yang diperjualbelikan/kredit tidak dijadikan jaminan
KPR Bank Syariah: Rumah yang diperjualbelikan/kredit dijadikan jaminan
KPR Bank Konvensional: Rumah yang diperjualbelikan/kredit dijadikan jaminan
Ada ikhtilaf ulama mengenai apakah barang yang diperjualbelikan boleh dijadikan jaminan atau dilarang. Dalam hal ini, KPR Syariah mengambil pendapat bahwa rumah yang sedang diperjualbelikan/kredit dilarang dijadikan jaminan.
Sistem Denda Keterlambatan
KPR Syariah: Tidak ada denda keterlambatan
KPR Bank Syariah: Ada denda keterlambatan
KPR Bank Konvensional: Ada denda keterlambatan
Dalam KPR Syariah tidak boleh ada denda jika ada keterlambatan cicilan karena itu termasuk riba. Dalam jual beli kredit maka sejatinya adalah hutang piutang. Jadi jika harga sudah di akadkan maka tidak boleh ada kelebihan sedikitpun baik dinamakan denda, administrasi atau bahkan infaq sekalipun. Karena ini termasuk mengambil manfaat dari hutang piutang yaitu riba.
Sistem Sita Jika Tidak Mampu Melanjutkan Pembayaran
KPR Syariah: Tidak ada sita
KPR Bank Syariah: Tidak ada sita
KPR Bank Konvensional: Ada sita
Dalam KPR Syariah tidak boleh melakukan sita jika pembeli tidak sanggup mencicil lagi. Karena rumah tersebut sudah sepenuhnya milik pembeli walaupun masih kredit. Solusinya adalah pembeli ditawarkan untuk menjual rumahnya baik lewat pembeli atau dengan bantuan developer.
Jika misal sisa hutang masih 100 juta kemudian rumah terjual 300 juta. Maka pembeli membayar sisa hutang yang 100 juta dan nilai 200 juta adalah hak pembeli.
Sistem Pinalty Jika Mempercepat Pelunasan
KPR Syariah: Tidak ada pinalty
KPR Bank Syariah: Tidak ada pinalty
KPR Bank Konvensional: Ada pinalty
Jika pembeli mempercepat pelunasan misal dari tenor waktu 10 tahun kemudian di tahun 8 sudah lunas maka tidak ada pinalty dalam KPR Syariah karena itu adalah riba. Bahkan ada sistem diskon yang nilainya dikeluarkan saat pelunasan terjadi.
Sistem Asuransi
KPR Syariah: Tidak ada asuransi
KPR Bank Syariah: Ada asuransi
KPR Bank Konvensional: Ada asuransi
Dalam KPR Syariah tidak memakai asuransi apapun karena asuransi adalah haram yang didalamnya ada riba, ghoror, maysir dan lain-lain.
Sistem BI Checking Untuk Menilai Kelayakan Konsumen
KPR Syariah: Tidak ada BI Checking
KPR Bank Syariah: Ada BI Checking
KPR Bank Konvensional: Ada BI Checking
Dalam KPR Syariah tidak ada BI Checking sehingga sangat memberikan kemudahan bagi calon pembeli yang kesulitan jika melalui sistem BI Checking seperti:
Karyawan Kontrak
Syarat lolos BI Checking secara umum adalah karyawan tetap. Jadi bagi karyawan kontrak akan kesulitan jika ingin membeli rumah lewat KPR bank baik itu Bank Syariah maupun Bank Konvensional.
Pengusaha/pedagang Kecil
Syarat lainnya yang bisa meloloskan calon buyer dari BI Checking adalah pengusaha yang memiliki izin usaha dan laporan keuangan. Jadi bagi pedagang kecil seperti tukang bakso, somay, sayur, gorengan dan lainnya akan sulit jika ingin membeli rumah lewat bank.
Usia Lanjut
Calon pembeli yang sudah usia lanjut diatas 50 tahun maka tidak akan bisa membeli rumah lewat bank karena ada batasan usia produktif jika membeli lewat bank.
Inilah penjelasan tentang perbedaan KPR Syariah dengan KPR Bank baik Bank Syariah ataupun Konvensional.
KPR Syariah Insyaa Allah dalam transaksinya terhindar dari sistem ribawi dan juga banyak kemudahan yang diberikan bagi para calon pembeli.
Semoga Allah ‘Azza wa Jalla memberikan kemudahan kita semua untuk membeli rumah dengan sistem syariah tanpa riba.
Pengertian Riba Dalam Islam Beserta Jenis-Jenisnya
Masih banyak orang yang masih awam dan belum paham mengenai riba. Memang memahami riba ini begitu penting. Karena seperti kita ketahui bersama, bahwa dosa riba teramat berat. Bahkan termasuk dalam salah satu dosa besar. Dan dosa riba itu sendiri bukan hanya meliputi pemberi dan penerima riba saja. Melainkan juga saksi dan pencatatnya. Naudzubillah.
Pengertian Riba Dalam Islam
Riba menurut bahasa berarti tambahan. Sedangkan menurut syara’, riba merupakan tambahan yang diperoleh dari seseorang yang meminjam (barang atau uang) dengan tempo atau batas waktu.
Menurut Ali bini Muhammad al Juijani, riba adalah tambahan yang tidak menjadi imbalan bagi sesuatu yang disyaratkan bagi salah seorang yang meminjam dan yang memberi pinjaman. Riba menurut istilah tadi barangkali terlalu sempit.
Istilah yang lebih baik dikemukakan oleh Syaikh ‘Abdurrahman Taj, yaitu setiap tambahan pada salah satu pihak (dalam) akad mu’awwadlah tanpa mendapat imbalan, atau tambahan itu diperoleh karena penangguhan.
Jenis-jenis Riba
Pada dasarnya jenis-jenis terbagi dalam dua kategori. Yaitu riba dalam akad jual-beli dan riba dalam akad hutang piutang.
Riba dalam akad hutang piutang
Riba Nasi’ah yaitu memberi hutang kepada orang lain dengan tempo atau batas waktu, yang jika terlambat mengembalikan akan dinaikkan jumlah/nilainya, sebagai tambahan atau sanksi.
Contoh : Pinjam uang 10 juta dalam 1 tahun. Saat jatuh tempo peminjam tidak mampu untuk melunasi hutangnya tepat waktu. Lalu atas keterlambatan tersebut dikenakan sanksi tambahan sebesar 10% dari nilai pinjaman.
Riba Qardh yaitu meminjam uang kepada seseorang dengan syarat ada kelebihan/keuntungan bagi pihak pemberi pinjaman.
Contoh : Pinjam uang 10 juta dalam waktu 1 tahun harus dikembalikan sebesar 11 juta.
Riba dalam akad jual beli
Riba Fadl yaitu menukarkan barang yang sejenis tetapi tidak sama keadaannya, atau menukar barang sejenis tetapi berbeda nilainya.
Contoh : Menukar emas 10 gram dengan emas 12 gram.
==========
Itulah pengertian riba dalam Islam dan juga jenis-jenis riba yang dijelaskan secara sederhana. Mudah-mudahan dari penjelasan di atas Anda sudah mulai mengerti mengenai riba ini. Dan insyaAllah tidak akan terjerat dalam jeratan riba. Aamiin.